Kisah Pengusaha Kaya Yang Bertobat

Seorang saudagar kaya yang banyak bepergian untuk berdagang, suatu saat tiba di wilayah Turki yang penduduknya masih menyembah berhala. Kepada pemimpin mereka, si saudagar itu berkata menasehati, “Ini tidak benar; perbuatan menyembah berhala ini salah. Kita mempunyai Tuhan yang membuat semua makhluk. Tuhan yang mempunyai sifat tidak sama dengan apa pun atau siapa pun. Tuhan yang menjamin rezeki hamba-hamba-Nya…”

Belum lagi selesai bicaranya, si pemimpin para penyembah berhala menukas, “Ah, ucapanmu tidak sesuai dengan perbuatanmu.”

“Kok bisa?” sahut si saudagar.

“Kamu tadi bilang kau punya Tuhan yang menjamin rezeki hamba-hamba-Nya, tapi mengapa kau bersusah-payah cari rezeki hingga ke sini?”

Mendengar kata-kata pemimpin para penyembah berhala itu, si saudagar pun eksklusif pulang, menyedekahkan seluruh hartanya, dan menjalani kehidupan yang sama sekali baru. Zuhud.

Saudagar itulah yang kemudian dikenal sebagai sufi besar Syaqieq Al-Balkhy (w. 194 H.).



Kisah ini pernah disampaikan KH A Mustofa Bisri di akun Facebook pribadinya, 17 Juni 2009. Mungkin sangat sulit untuk mengikuti jejak Syaqieq Al-Balkhy: menguras besar-besaran seluruh kekayaannya sendiri. Itulah cara yang ia tempuh, dan masing-masing orang boleh memakai cara tersendiri. Hanya saja, yang mesti dicatat, pembenahan total hampir selalu merupakan jalan yang berat, sarat keberanian dan tekad. Kenapa? Karena musuh terbesar yang dihadapi ialah ego sendiri.

Di luar cara sufi besar itu merevolusi kualitas dirinya, ada pelajaran lain yang sangat penting dari kisah di atas. Syaqieq Al-Balkhy sama sekali tidak meremehkan kata-kata yang meluncur dari verbal orang lain kendati dari penyembah berhala. Bahkan ia menganggap ledekan dedengkot penyembah berhala itu semacam pesan yang tersirat yang alhasil mengubah jalan hidupnya. Bukankah pada level tertentu uang dan kewibawaan juga dapat menjadi berhala?

Sikap Syaqieq mengingatkan kita pada pernyataan Sayyidina Ali, “Lâ ta‘rifil haqqa bir rijâl. I‘rif al-haqqa ta‘rif ahlahu (Jangan kenali kebenaran menurut individu-individu. Kenalilah kebenaran itu sendiri, otomatis kau akan kenal siapa di pihak yang benar).” Kebenaran atau pesan kebaikan bersifat objektif, dapat tiba dari mana saja, apa saja, dan siapa saja


Sumber: Situs PBNU

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Mimpinya Kh. Manshur Maskan Bertemu Rasulullah Saw

Kisah Lelaki Penakluk Panasnya Api Dunia

Ketika Buya Hamka Dituduh Plagiat