Kisah Lelaki Pemabuk Yang Sayang Kepada Anak Yatim
Kitab “Irsyadul ‘Ibad” karya Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malybari dalam sebuah kepingan mengisahkan perihal seorang lelaki berandal yang meski mengalami nasib tragis di selesai hidupnya. Kegemarannya menciptakan kerusakan dan minum minuman keras membuatnya dibenci masyarakat sekelilingnya. Bahkan, saat ia mati di kawasan Basrah, tak satu pun orang mau mengurus jenazahnya, kecuali sang istri.
Detik-detik pemakaman dilewati secara dramatis. Sang istri terpaksa membayar beberapa orang untuk mengangkut jasad suaminya menuju mushala. Karena tidak ada orang yang mau menshalatkan, mayat lantas digotong kembali ke padang sahara untuk dimakamkan di sana.
Dalam kondisi yang malang ini, tiba-tiba seorang yang populer zuhud tiba menghampiri. Ia turun dari gunung tempatnya ibadah guna menshalatkan mayat lelaki fasik tersebut. Kealiman dan kesalehan sang zahid cukup harum di mata masyarakat, kesannya begitu tersiar kabar ia menshalati jasad penjahat tersebut, berbondong-bondonglah orang tiba ke gurun. Masyarakat heran, mau-maunya orang andal ibadah itu menuruni gunung, kemudian menghormati mayat orang yang bergelimang dosa.
“Aku bermimpi seakan-akan ada bunyi yang menyampaikan ‘Turunlah dari gunung, pergilah ke salah satu mayat yang tak ada orang lain yang mau menemani kecuali istrinya sendiri. Lakukan shalat untuknya alasannya ialah bekerjsama ia diampuni,” kata sang zahid.
Sang zahid pun memanggil istri lelaki jahat itu dan bertanya perihal perbuatan suaminya semasa hidup. “Dia sering ke kedai untuk minum minuman keras,” jawab sang istri.
“Ingat-ingatlah kembali, barangkali ada perbuatan yang baik.”
“Tak ada perbuatan yang baik kecuali beliau tiap hari sadar di waktu subuh, mengganti pakaiannya, berwudhu, kemudian menunaikan shalat Subuh. Selanjutnya ia kembali ke kedai untuk mabuk lagi.”
Kebaikan lainnya ialah di rumah orang yang dikenal jelek itu tak pernah sepi dari satu atau dua anak yatim yang selalu menerima prioritas ketimbang anaknya sendiri. Ketika sadar (tak mabuk), beliau bermunajat seolah mengakui segala kesalahannya, “Tuhan, di sudut manakah Engkau akan menempatkanku yang jelek ini di neraka jahannam?”
Kisah ini membuka mata kita bahwa menilai seseorang tak semudah hanya dengan cara melihat langsung lahiriahnya. Orang yang sehari-hari tampak berbuat maksiat, sanggup jadi mulia di selesai hidupnya karena pertobatan dan kebaikan yang dilakukannya. Keselamatan hakiki orang mutlak menjadi hak prerogatif Allah. Karena itu, ketimbang memvonis orang lain dengan label hitam atau putih, alangkah baiknya energi itu dicurahkan untuk mengoreksi diri sendiri.
Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malybari saat menceritakan hal ini juga hendak memberikan pesan bahwa kepedulian anak yatim ialah perbuatan yang utama. Sikap tersebut mencerminkan keberpihakan kepada hamba lain yang lemah, dan sanggup jadi keistimewaannya melebihi ibadah-ibadah ritual yang dilakukan dengan penuh pujian dan perilaku meremehkan orang lain.
Rasulullah pernah bersabda, orang yang berusaha membantu janda dan orang-orang miskin menyerupai orang yang berjihad di jalan Allah. Dan menyerupai orang yang menjalankan shalat malam.
Sumber: Situs PBNU
Comments
Post a Comment