Ketika Buya Hamka Dituduh Plagiat

Tahun 1960-an sanggup disebut sebagai tahun panas, penuh pergolakan politik. Bahkan bidang sastra pun tak luput dari hal tersebut. Salah satu kejadian yang mencuat di dunia sastra kala itu, ketika seorang tokoh Muhammadiyah, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan Buya Hamka ‘didakwa’ atas tuduhan plagiarisme.

Polemik ini berawal ketika seorang yang berjulukan Abdullah Said Patmadji (Abdullah Sp) mengirimkan beberapa resensi yang dimuat secara terencana di rubrik kebudayaan “Lentera” harian Bintang Timur milik Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam salah satu tulisannya yang berjudul Aku mendakwa Hamka Plagiat (Bintang Timur, 5 dan 7 Oktober 1962), Abdullah Sp, menuduh buku novel “Tenggelamnja Kapal van der Wijck” karya Buya Hamka merupakan plagiasi dari novel Magdalena, karya seorang sastrawan Mesir, Mustafa Al-Manfaluthi.

Sontak hal tersebut memunculkan pro-kontra dari banyak sekali kalangan, termasuk dari kalangan Nahdliyyin. Duta Masjarakat, salah satu koran harian milik Nahdlatul Ulama (NU) menuliskan dua artikel yang berjudul Hamka membantah hasil karjanja djiplakan dan Pembitjaraan tamat seorang sastrawan. Isi keduanya cenderung menunjukkan pembelaan kepada Hamka.



Berikutnya pada 7 Maret 1963, Duta Masjarakat memuat goresan pena A.S. Alatas. Menurut pendapat Lektor Kepala Luar Biasa Bahasa Arab di Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu, tokoh perempuan dalam Magdalena, tidaklah seakan-akan dengan tokoh Hajati dalam novel Hamka.

Sedangkan Usmar Ismail, seorang pegiat Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) milik NU, menentukan perilaku hati-hati dalam mengutarakan pendapat. Menurut Usmar, seorang seniman sedikit banyak akan mendapat imbas dari karya-karya dari orang lain.

Dan saja sebagai pengarang sangat terpengaruh pada Ibsen dan Steinbeck dan itu djelas kelihatan pada lakon-lakon karja saja “Api”. Terlebih-lebih pengarang muda, maka sulit untuk menolak imbas dari pengarang lain baik luar maupun dalam negeri.

Tapi bagi saja plagiat yaitu bukan soal pengaruh, ia yaitu persamaan tema, plot, dilema dan seluruhnja sama tanpa ada keakuan sipengarang dan soal ini tidak demikian pada karja Hamka tersebut. (Bintang Timur, 21 Oktober 1962)

Dalam buku “Aku Mendakwa Hamka Plagiat, Skandal Sastra Indonesia 1962-1964” (Muhidin M Dahlan, 2011), dijelaskan bahwa tema serupa menjadi perdebatan yang berlangsung cukup lama, yakni kisaran tiga tahun. Muhidin M Dahlan mengungkapkan, kala itu ‘dakwaan plagiarisme Hamka’ tak menjadi sekedar info sastra semata, tapi juga sentimen ideologi politik. Di mana kekerabatan politik Islam dan ideologi politik yang lebih banyak didominasi (Sukarno, PKI, Tentara) memburuk ketika Masyumi dinyatakan sebagai partai terlarang.


Sumber: Situs PBNU

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Mimpinya Kh. Manshur Maskan Bertemu Rasulullah Saw

Kisah Lelaki Penakluk Panasnya Api Dunia

Amalan Supaya Menerima Air Telaga Kautsar