Ketika Sunan Ampel Dan Sunan Kalijaga Beda Pendapat
Para tokoh utama penyebar Islam di seluruh Indonesia, Wali Songo dikenal inklusif (terbuka) dalam membuatkan dan menanamkan nilai-nilai Islam ke masyarakat Nusantara. Mereka bukan tanpa resisten dalam melaksanakan misi dakwahnya, lantaran masyarakat kala itu kental dengan budaya dan tradisi yang telah mengurat dan mengakar.
Budaya yang unik dan tradisi yang telah berjalan bebuyutan menjadi tantangan sekaligus potensi tersendiri dalam misi dakwah para wali sembilan itu. Sebagai tantangan, alasannya ialah para wali mustahil memberangus budaya dan tradisi masyarakat begitu saja, sedangkan potensi memungkinkan dakwah para wali mempunyai instrumen ampuh dalam menyemayamkan agama Islam melalui budaya.
Salah satu anggota Wali Songo yang dekat dengan tradisi dan budaya dalam membuatkan Islam ialah Sunan Kalijaga (Raden Mas Said). Bahkan salah satu murid Sunan Bonang ini kerap membuat tembang dan karya-karya seni lain untuk menarik minat masyarakat secara tidak langsung untuk mempelajari Islam.
Namun demikian, model dakwah yang digagas oleh Sunan Kalijaga itu tidak serta merta menerima pinjaman dari para wali lain. Suatu ketika, dalam rapat dewan wali untuk membahas taktik dakwah Islam, Sunan Ampel yang kala itu menahkodai Wali Songo sempat tidak oke memakai instrumen tradisi dan budaya masyarakat dalam membuatkan Islam (Choirul Anam, 2010).
Kekhawatiran ini dipahami betul oleh Sunan Kalijaga, lantaran Sunan Ampel tidak ingin anutan Islam tercampur dengan budaya dan tradisi masyarakat pada waktu itu. Seketika itu pula Sunan Kalijaga menawarkan argumentasinya bahwa Islam tidak akan tercampur dengan budaya dan tradisi, melainkan Islam akan menawarkan ruh terhadap kebiasaan-kebiasaan masyarakat tersebut.
Artinya, Islam 100 persen tetap pada ajarannya dan masyarakat pun tetap sanggup menjalankan tradisinya dengan bingkai nilai-nilai Islam. Inilah yang disebut bahwa Islam tidak akan mencerabut akar tradisi dan budaya masyarakat. Karena kalau diandaikan agama ialah sebuah pohon, maka budaya dan tradisi ialah tanahnya. Pohon tidak akan berkembang besar, tinggi, dan berbuah kalau tidak ada media tanam.
Melalui akulturasi budaya, masyarakat ketika itu juga sanggup memahami Islam secara substantif, bukan menurut simbol dan ayat-ayat suci yang hanya dipahami secara tekstual. Kontekstualisasi anutan Islam yang digagas oleh Sunan Kalijaga dan sunan-sunan lain melalui instrumen budaya jadinya menerima respon nyata dewan wali sehingga agama Islam terus berkembang dan menjadi agama dominan di negeri ini.
Menilik sejarah panjang penuh dengan keindahan tersebut, betapa harus sadarnya masyarakat dan bangsa ini terkait peneguhan identitas diri. Islam yang dibawa oleh Wali Songo tidak mengajarkan kemarahan, tetapi keramahan; tidak memukul, tetapi merangkul; tidak mengejek, tetapi mengajak; tidak langsung (tertutup/kaku), tetapi inklusif (terbuka/luwes); dan tidak menggurui, namun menjamui.
Sumber: Situs PBNU
Comments
Post a Comment