Fatwa Dapat Membawa Bencana
Lisan kita yaitu salah satu anggota badan yang berpotensi melaksanakan banyak kemaksiatan menyerupai caci-maki, ghibah, namimah, bohong, sumpah palsu, tuduh, dan lain sebagainya. Karenanya tidak heran jika Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya mengaitkan keimanan kepada Allah serta Hari Kiamat dengan perkataan yang baik atau membisu sama sekali.
Imam Al-Ghazali dalam “Ihya Ulumiddin” menyebut secara rinci 20 jenis maksiat yang dilakukan oleh lisan manusia. Menurutnya, pada 20 kawasan ini anak insan kerap terperosok dalam maksiat lisan. Tidak ada yang selamat di 20 kawasan ini selain mereka yang berdiam dan mengunci mulutnya.
Mengeluarkan aliran tanpa didasari pengetahuan yang niscaya dan yakin yaitu termasuk salah satu kemaksiatan lisan. Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi dalam karyanya “Is’adur Rafiq wa Bughyatus Shadiq” memasukan hal ini dalam gugusan kemaksiatan lisan.
ومنها (الفتوى بغير علم) جازم فيما يفتي فيه. قال عليه الصلاة والسلام أجرأكم على الفتوى أجرأكم على النار. قال ابن قاضى في مختصر الفتاوى ليس لمن قرأ كتبا أو كتابا ولم يتأهل للإفتاء أن يفتي إلا فيما علم من مذهبه علما جازما كوجوب نية الوضوء ونقضه بمس الذكر
“Salah satu maksiat lisan yaitu (berfatwa tanpa ilmu) yang yakin atas bahan aliran tersebut. Rasulullah SAW bersabda: ‘Orang yang paling berani berfatwa di antara kalian yaitu ia yang paling berani pada api neraka’. Ibnu Qadhi dalam Mukhtasharul Fatawi mengatakan, orang yang membaca beberapa kitab atau satu kitab misalnya–sementara ia bukan andal fatwa–tidak berhak mengeluarkan aliran selain apa yang ia ketahui dengan yakin dalam madzhab yang dianutnya menyerupai aliran wajibnya niat dalam mengambil air wudhu dan batalnya kesucian sebab menyentuh kemaluan,” (Lihat Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi, Is’adur Rafiq, juz 2, halaman 90).
Dari petikan di atas sanggup disimpulkan bahwa kita dihentikan keras mengeluarkan aliran tanpa dasar pengetahuan yang utuh dan mendalam. Pasalnya, aliran mempunyai kedudukan istimewa. Seorang mufti dituntut untuk memenuhi syarat-syarat terkait kapasitas menyerupai segenap perangkat pengetahuan dasar perihal keislaman dan kebahasaan Arab yang memadai.
Pengetahuan dasar itu antara lain yaitu penguasaan ilmu bahasa Arab (nahwu, sharaf, balaghah, manthiq), pengetahuan akan ayat dan hadits-hadits hukum, pengetahuan akan pasal-pasal aturan dalam madzhabnya, pengetahuan akan argumentasi sebuah putusan aturan yang dikeluarkan imam madzhabnya, dan memahami benar problem yang dihadapi mustafti (orang yang tiba meminta fatwa), dan sejumlah pengetahuan lainnya.
Hal ini tidak menafikan kebolehan para kiai kita yang alim dan faqih untuk berfatwa. Imbauan ini ditujukan bagi kita yang awam untuk tidak mengambil tugas dalam proses keluarnya aliran mengingat keterbatasan kapasitas yang kita miliki dan kemampuan kita yang tidak memadai.
Untuk kita yang awam, sebaiknya kita tidak perlu kasar untuk ikut-ikutan mengeluarkan fatwa. Karena orang yang berfatwa akan bertanggung jawab di alam abadi atas fatwanya. Kita yang awam sebaiknya tidak perlu mengambil risiko itu biar tidak terjerumus dalam tanggung jawab yang kita tidak mengerti.
Fatwa yang dikeluarkan tanpa pendalaman sebuah masalah, tanpa kajian seksama sebelumnya sanggup menyesatkan orang banyak. Kita juga khawatir jika ada sebagian ustadz hanya dalam hitungan menit ditanya oleh seorang jamaah kemudian mengeluarkan fatwa. Bahkan jika perkara yang ditanyakan agak pelik yang memerlukan riset lapangan dan studi pustaka kitab-kitab kuning mendalam, sebagian ustadz kita eksklusif berfatwa seketika itu juga dari balik meja, tanpa turun ke lapangan dan studi pustaka.
Semoga kemaksiatan lisan dengan segala bentuknya tidak menjadi kepingan dari keseharian kita. Semoga Allah memelihara kita dari segala imbas negatif atas kemaksiatan lisan tersebut. Wallahu A‘lam.
Sumber: Situs PBNU
Comments
Post a Comment