Proses Penjelasan (Tabayun) Yang Diajarkan Nabi
Tabayun artinya meminta penjelasan atau mengklarifikasi sebuah informasi sebelum bertindak terhadap informasi yang diterima. Surah Al-Hujurat ayat 6 meminta kita melaksanakan “tabayun” kalau seorang fasik membawa berita: “Hai orang-orang yang beriman, kalau tiba kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti supaya kau tidak menimpakan suatu petaka kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menimbulkan kau menyesal atas perbuatanmu itu.”
Tapi bagaimana kalau kejadiannya menimpa orang non-Muslim? Apakah kita harus “tabayun” juga? Mari kita simak kisah di bawah ini, yang saya ringkaskan dari riwayat yang tercantum dalam Kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, dan lainnya.
Dalam masa perdamaian antara Nabi Muhammad saw. dengan kaum Yahudi, Abdullah bin Sahl dan Muhayyishah pergi ke perkampungan Khaibar. Keduanya berpisah sesuai keperluan masing-masing, dan lalu Muhayyishah menemukan Abdullah bin Sahl bersimbah darah, sudah meninggal dunia di sumur. Muhayyishah menuduh kaum Yahudi yang membunuh Abdullah bin Sahl sebab mereka berada di perkampungan Yahudi. Kaum Yahudi membantahnya.
Singkat cerita, Muhayyishah pulang dan menemui saudaranya Huwayshah yang lebih bau tanah dan Abdurrahman bin Sahl (saudara almarhum). Mereka menemui Nabi Muhammad saw. Muhayyishah hendak berbicara, namun Nabi meminta yang lebih bau tanah yang lebih dahulu berbicara. Huwayshah memulai pembicaraan disambung dengan Muhayyishah. Intinya mereka menuntut keadilan.
Mendengar kisah ini, apakah Nabi eksklusif menggerakkan pasukan ke perkampungan Yahudi? Tidak. Nabi melaksanakan proses “tabayun” atas tuduhan serius ini.
Nabi mengirim surat. Kaum Yahudi menjawab dengan menyampaikan bahwa mereka tidak membunuh Abdullah bin Sahl. Atas bantahan itu, Nabi meminta Muhayyishah bersumpah. Namun Muhayyishah menolak sebab memang dia tidak melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Abdullah bin Sahl dibunuh Yahudi. Bisa saja kan, dia terjatuh dari untanya ketika mau meminum dari sumur. Masalah menjadi pelik sebab kabar hanya dari satu orang yaitu Muhayyishah, yang bukan saja hanya berjumlah satu orang (tidak mencukupi syarat dua saksi) dan juga tidak mengetahui persis kejadiannya. Satu-satunya indikasi untuk menuduh Yahudi ialah peristiwanya terjadi di perkampungan Yahudi. Namun ini tidak cukup kuat, apalagi sudah dbantah oleh kaum Yahudi.
Opsinya ialah mengambil diyat (denda atas pembunuhan) atau memerangi Yahudi untuk menuntut balas. Yang mana yang Rasul akan ambil? Kalau diyat, tentu yang membunuh yang harus membayar. Tapi siapa pembunuhnya? Kalau Yahudi yang membunuh dan mereka menolak membayar diyat, maka sanggup diperangi, tapi benarkah Yahudi yang membunuh Abdullah bin Sahl?
Nabi lalu bertanya, “Jikalau 50 orang Yahudi bersumpah tidak membunuh, apakah kalian akan menerimanya?” Muhayyishah mengatakan, “Bagaimana kami sanggup mendapatkan sumpah dari non-Muslim? Kalau mereka berbohong bagaimana?”
Terjadi deadlock (jalan buntu).
Pihak Muhayyishah menuntut keadilan. Yahudi membantah. Bayang-bayang peperangan di depan mata. Rasulullah mengambil keputusan yang luar biasa: Rasulullah memutuskan, ia sendiri yang membayar diyat (denda) 100 ekor unta kepada keluarga Abdullah bin Sahl. Nabi rugi sebab membayar dengan untanya sendiri. Tapi peperangan sanggup dihindarkan. Begitulah sosok Nabi agung yang rela berkorban demi perdamaian.
Pelajaran penting dari kisah di atas:
1.) Zaman dahulu proses pembuktian itu sederhana: lewat saksi dan sumpah. Tidak menyerupai kini yang sanggup diinvestigasi oleh polisi, tes DNA, dan menyimak rekaman CCTV. Pada masa Rasul modalnya ialah kepercayaan yang dibuktikan lewat sumpah dan kesaksian. Namun kalau proses pembuktian ini gagal, bagaimana? Nabi menyerahkannya kepada Allah.
2.) Nabi mengajarkan etika untuk mendahulukan yang lebih bau tanah untuk berbicara. Meskipun Muhayyishah yang lebih tahu, tapi biarkan yang lebih bau tanah bicara dahulu. Ini moral kesantunan. Setelah itu gres Muhayyishah yang lebih paham kejadiannya yang berbicara.
3.) Nabi menjalankan proses “tabayun” kepada pihak Yahudi. Tidak gegabah mengambil keputusan menurut emosi atau kebencian. Nabi yang agung ini berhati-hati mengambil keputusan sebelum mendengar dari semua pihak yang terlibat.
4.) Ketika semua jalan telah buntu (saksi, sumpah dan tabayun), Nabi menentukan mengalah dengan rugi membayar 100 unta sebagai diyat. Padahal terperinci Nabi bukan pelaku tindak pidana. Nabi hanya hendak menjaga perdamaian dan menghormati perjanjian keamanan dengan pihak Yahudi ketika itu. Biarlah pemimpin rugi dan mengalah, demi perdamaian.
Demikianlah kisah sederhana yang terjadi di masa Rasulullah saw., sebagaimana tercantum dalam Sahih Bukhari, Hadis nomor 2503, 2937, 3823, 5677 dan 6655; Sahih Muslim, Hadis nomor 2285, 3157, 3158, 3159; Sunan Abi Dawud, Hadis nomor 3917, 3918; Sunan Ibn majah, Hadis nomor 2667, 2668; Sunan al-Nasa'i, Hadis nomor 4631, 4632, 4633, 4634, 4635, 4637, 4638, 4639; al-Muwatha' Imam Malik, Hadis nomor 1372, 1373; Sunan al-Darimi, Hadis nomor 2247; dan Musnad Ahmad, Hadis nomor 16639.
Sumber: Situs PBNU
Comments
Post a Comment