Makna Dan Cara Bertawassul Yang Benar

Kunci kebahagiaan hidup di dunia ada empat, salah satunya ialah bertawassul. Demikian disampaikan KH. Wazir Ali, Wakil Rais Syuriyah PCNU Jombang, Jawa Timur.

Kunci kebahagiaan hidup yang lain ialah iman, taqwa dan, jihad fi sabilihi. Ketiganya sudah disampaikan dalam acara Lailatul Ijtima’ sebelumnya di beberapa MWCNU di Jombang.

Dalam acara yang diselenggarakan di Masjid Al-Amanah Ngledok, Mojokrapak, Tembelang tersebut, Kiai Wazir memberikan definisi dan macam-macam tawasul.

Mengacu pada surah Al-Maidah ayat 35:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (wasilah) dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kalian menerima keberuntungan".

Kiai Wazir dengan merujuk pada beberapa kitab tafsir mengatakan, "Ada yang mengartikan wasilah itu surga, ada yang mengartikan amalan-amalan yang sanggup mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan ada yang mengartikan, seseorang sanggup menjadi perantara, sebab orang tersebut alim dan bersahabat kepada Allah SWT, contohnya seorang wali.”

Lebih lanjut, Kiai Wazir pertanda perihal macam-macam tawassul. Yang pertama, tawassul bi asma’illah (tawassul dengan nama Allah). Tawassul ini ialah tawasul yang paling tinggi. Misalnya dengan perkataan a‘ûdzu biqudratillah, a‘udzu bi izzatillah dan yang lainnya. Seperti tawasul kepada Allah supaya disembuhkan dari sakit. Tawassul ini juga sanggup dilakukan dengan menyebut asmaul khusna, secara lengkap atau sebagian. Atau dengan ismul a'dham. Ismul a'dham, menurutnya merupakan password berdoa. Ismul a'dham ini disamarkan, tetapi sanggup dipelajari, contohnya dalam kitab Imam Nawawi, “Fatawa Nawawi”, disebutkan perihal ismul a'dham.

Kedua, tawasul bi a'mal shalihat (tawassul dengan amal yang baik). Kiai Wazir menjelaskan, dalam kitab “Riyadus Shalihin” dikisahkan, ada 3 orang sahabat, yang dalam perjalanan mereka menemukan gua. Karena penasaran, ketiganya memasuki gua tersebut. Saat sudah masuk, tiba-tiba ada angin kencang, yang merobohkan kerikil besar sehingga menutupi gua. Mereka mengalami kesulitan, seminggu tidak makan, dan memanggil-manggil orang tidak ada yang dengar, kemudian ketiganya muhasabah. Seorang dari mereka berdoa dan bertawassul dengan perbuatan “birrul walidain” (berbuat baik kepada orang tua). Akhirnya kerikil terdorong angin besar, dan ada sinar matahari. Kemudian yang lain berdoa dengan amal unggulannya, hasilnya kerikil tergeser sedikit demi sedikit.



Ketiga, tawassul “bis shalihin” (tawassul dengan orang-orang shalih). Tawassul kepada orang-orang shalih, baik masih hidup atau sudah meninggal. Apa sanggup tawassul kepada yang masih hidup. Diceritakan dalam hadits shahih, ada salah satu sahabat buta, yang ingin sanggup melihat, kemudian ia tawassul “Allahumma inni as'aluka wa atawajjahu bi nabiyyika fi hajati hadzihi...” (Ya Allah, saya meminta dan menghadapmu dengan wasilah kepada Nabi dalam memenuhi kebutuhan saya ini...). Akhirnya sahabat tersebut sanggup melihat.

“Tawasul kepada orang yang sudah meninggal, yang ditawassuli Nabi SAW. Para nabi itu masih hidup di kuburannya, apa yang dilakukan? Para Nabi melaksanakan shalat. Bahkan orang yang mempunyai kelebihan (khos) sanggup kontak dan mencar ilmu kepada mereka.

Bahkan, tambah Kiai Wazir, Nabi Adam AS juga pernah tawassul kepada Nabi Mahammad SAW, padahal Nabi Muhammad belum lahir. “Ketika Nabi Adam AS melaksanakan kesalahan, ia berdoa “Ya Rabb, as'aluka bihaqqi muhammadin”. Ini juga dari Hadits Shahih. Selanjutnya, Imam Syafi’i pernah mengatakan: “Saya punya duduk masalah berat, saya tawassul dan ngalap berkah kepada guru saya, yaitu Abu Hanifah. Saya tiba ke makam ia setiap malam sepanjang duduk masalah berat masih menimpa saya, dan sebelum tiba ke makam, saya shalat dulu 2 rakaat’,” paparnya.

Keempat, tawassul bi dzat (tawassul dengan dzat). Cara melaksanakan tawassul macam ini, contohnya bi jahi (dengan kedudukan), bi hurmati (dengan kemuliaan), bi karamati (dengan kemurahan). Shalawat Nariyah merupakan tawassul bi dzat. Tawassul yang keempat ini diperselisihkan oleh para ulama. "Menurut sebagian besar ulama, tawassul dengan empat macam di atas tidak masalah, tetapi berdasarkan Ibnu Taimiyah, semua tawassul sanggup diterima secara syariat kecuali tawassul bi dzat," ulas Kiai Wazir.


Sumber: Situs PBNU

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Mimpinya Kh. Manshur Maskan Bertemu Rasulullah Saw

Kisah Lelaki Penakluk Panasnya Api Dunia

Ketika Buya Hamka Dituduh Plagiat