Ketika Aliran Jadi Polemik

Fatwa akhir-akhir ini merupakan tren baru, bahkan sudah menyerupai dengan latah. Dulu, fatwa hampir identik dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia), yang memang paling sering mengeluarkan fatwa. Fatwa yang dinilai sering tidak menjadi solusi, melainkan malah meresahkan. Pak Jusuf Kalla waktu menjadi wakil presiden hingga berpesan dalam pembukaan Ijtimak Komisi Fatwa MUI biar MUI jangan mengeluarkan fatwa yang meresahkan dan menjadi ketakutan baru, melainkan menjadi solusi (Jawa Pos, Minggu 25 Januari 2009).

Tapi kini, fatwa tidak lagi menjadi monopoli MUI. Rupanya, MUI mendapat banyak saingan. Fatwa bermunculan dari banyak sekali penjuru, dari banyak sekali forum dan organisasi. Berbagai hal dan problem difatwakan. Mulai fatwa perihal anutan sesat, bunga bank, golput, yoga, rokok, pembangkit tenaga nuklir, rebonding, prewedding, infotainment, ringtone ayat-ayat Al-Qur’an, Facebook, hingga naik ojek.

Kecanggihan dan keaktifan pers ikut dan sangat membantu tersiarnya fatwa-fatwa dari banyak sekali pihak itu serta menjadikannya materi omongan berkepanjangan sehingga mengakibatkan pro dan kontra di masyarakat. Bahkan, ada yang menilainya meresahkan.

Di sisi lain, ada pula yang khawatir, dengan sering dan mudahnya fatwa dikeluarkan, fatwa akan kehilangan wibawa dan kesakralan. Padahal, semenjak dulu organisasi NU dengan bahtsul masail-nya dan Majelis Tarjih Muhammadiyah selalu menjawab masalah-masalah keagamaan yang ditanyakan anggotanya.

Di banyak pesantren juga ada tradisi musyawarah di kalangan santri. Mereka berlatih menjawab masalah-masalah keagamaan di masyarakat. Hanya, dulu mungkin tidak ada media massa yang tertarik menyiarkannya.

Di koran ini, saya pernah sedikit menjelaskan perbedaan antara fatwa, wacana, dan vonis yang sering dirancukan. Gara-gara kerancuan itu, sering terjadi fatwa dianggap vonis. Celakanya, ada yang mengeksekusi berdasar fatwa tersebut. Itu merupakan kesalahan bertumpuk. Yakni, kesalahan menganggap fatwa sebagai vonis serta melaksanakan sanksi dan penghakiman sendiri. Saya menjelaskan istilah-istilah tersebut terutama biar masyarakat tidak terlalu galau dan resah terhadap fatwa-fatwa MUI.

Ternyata, kini masih atau semakin banyak keluhan mengenai kian maraknya fatwa, tidak hanya dari MUI. Masyarakat kembali ramai membicarakan dan sebagian malah menyatakan semakin bingung. Apalagi, kemudian ada yang membesar-besarkan perbedaan fatwa, menyerupai fatwa yang mengharamkan rokok dan yang hanya memakruhkannya. Maka, saya teringat akan hal yang pernah saya kemukakan -mengutip keterangan para ulama- perihal fatwa lebih dari setahun lalu.

Fatwa dalam istilah agama (sempitnya: fiqih) menyerupai dengan pengertian bahasanya, yakni tanggapan mufti terhadap problem keberagamaan. Dulu -dan hingga kini di beberapa negara Timur Tengah- fatwa memang diminta dan diberikan oleh mufti secara perorangan.

Dalam kitab-kitab fiqih, mufti atau pemberi fatwa dibedakan dengan hakim. Mufti hanya memperlihatkan isu kepada dan sesuai dengan pertanyaan si peminta fatwa. Sementara itu, hakim tetapkan sanksi sehabis mendengarkan banyak sekali pihak, menyerupai penuntut, terdakwa, dan saksi-saksi.

Berbeda dengan putusan hakim, fatwa tidak mempunyai kekuatan memaksa. Ia tidak mengikat, kecuali bagi si peminta fatwa.

Itu pun berlaku dengan beberapa catatan. Antara lain, si peminta fatwa hanya mendapat fatwa dari satu pihak atau pemberi fatwa dan fatwa yang diberikan sesuai dengan kemantapan hatinya. Apabila ada dua pihak yang memperlihatkan fatwa berbeda, ia mengikuti fatwa yang sesuai dengan kata hatinya. Itu berdasar hadis Nabi Muhammad SAW, “Istafti qalbak/nafsak wain aftaaka an-naas…” Arti hadis tersebut, mintalah fatwa hati nuranimu meski orang-orang sudah memberimu fatwa.

Sementara itu, mufti yang boleh ditanya dan memperlihatkan fatwa yakni orang yang memenuhi kriteria tertentu. Bukan sembarang orang. Misalnya, pensiunan pegawai tinggi Depag (kini Kementerian Agama) atau ketua umum organisasi tidak sanggup dijadikan ukuran.

Para ulama punya pendapat berbeda mengenai rincian kriteria mufti; ada yang ketat, ada juga yang agak longgar. Ada yang mensyaratkan mufti harus mujtahid. Ada yang sekadar menyatakan--seperti Imam Malik--orang alim tidak seyogianya memperlihatkan fatwa hingga tahu bahwa orang melihatnya pantas memperlihatkan fatwa dan dirinya juga merasa pantas. Secara garis besar, semua menyepakati bahwa yang diperkenankan dimintai dan memperlihatkan fatwa hanyalah mereka yang memang ahli.

Pemberian fatwa, berdasarkan para ulama, juga punya etika. Misalnya, mufti dihentikan tergesa-gesa dalam memperlihatkan fatwa. Ibn Qayyim, misalnya, dalam salah satu kitabnya menyatakan, “Dulu salaf, para sahabat nabi, dan tabiin tidak suka cepat-cepat memperlihatkan fatwa. Masing-masing justru mengharap fatwa diberikan oleh selain dirinya. Apabila sudah terang bahwa fatwa itu harus diberikan olehnya, ia akan mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk mengetahui aturan problem yang dimintakan fatwa tersebut dari Al-Qur’an, sunah Rasulullah, dan pendapat Khalifah Rasyidin.”



Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal, mufti dihentikan menjawab apa saja yang ditanyakan kepadanya. Selain itu, orang dihentikan mengajukan dirinya untuk memperlihatkan fatwa, kecuali telah memenuhi lima hal:

Pertama, ia punya niat nrimo lillahi taala, tidak mengharapkan kedudukan dan sebagainya.

Kedua, ia berdiri di atas ilmu, perilaku lapang dada, keanggunan, dan ketenangan. Sebab, jikalau tidak demikian, ia tidak sanggup menjelaskan hukum-hukum agama dengan baik.

Ketiga, ia harus besar lengan berkuasa pada posisi dan pengetahuannya.

Keempat, mufti harus punya kecukupan. Bila tidak, ia menciptakan masyarakat tidak senang. Sebab, ia membutuhkan masyarakat dan mengambil (materi) dari tangan mereka. Masyarakat bakal merasa dirugikan.

Kelima, mufti harus mengenal masyarakat. Artinya, ia harus tahu perihal kejiwaan si peminta fatwa serta mengerti benar akan efek dan tersebarnya fatwa tersebut di masyarakat.

Sebab, intinya, fatwa yakni kemaslahatan bagi masyarakat. Maka, berdasarkan Imam Syatibi, mufti yang mencapai derajat puncak yakni yang membawa masyarakat ke kondisi tengah-tengah, menyerupai yang dikenal masyarakat. Mufti itu tidak menempuh anutan yang keras, tidak pula terlalu longgar.

Oleh: KH.A. Mustofa Bisri


Sumber: Situs PBNU

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Mimpinya Kh. Manshur Maskan Bertemu Rasulullah Saw

Kisah Lelaki Penakluk Panasnya Api Dunia

Ketika Buya Hamka Dituduh Plagiat