Nasihat Imam Al-Ghazali Kepada Para Penguasa
Banyak sudah para pemikir klasik yang memberi nasihat kepada penguasa. Kita mengenal Nicolo Machiavelli (1469-1527) yang menulis buku “The Prince” berisikan saran-saran bagaimana menerima dan mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara: berbohong, memfitnah, bahkan menghabisi lawan politiknya. Terjadi pro-kontra mengenai karya Machiavelli ini. Yang terang karya ini membuka kedok betapa menggiurkannya kekuasaan itu bagi yang mencari atau hendak mempertahankannya.
Sekitar 3 kurun sebelum Machiavelli, Imam Al-Ghazali telah lebih dulu menuliskan nasihatnya untuk penguasa. Berbeda dari Machiavelli yang menyarankan untuk menghalalkan segala cara dan menafikan moralitas dalam kekuasaan, Imam Al-Ghazali menekankan pesan keadilan kepada para penguasa. Yang menakjubkan ia lebih dahulu mengkritik para ulama sebagai biang kerusakan rakyat dan penguasa. Paling tidak dua kali ia menyebutkannya dalam kitab “Ihya’ Ulumiddin”.
Pertama, Ihya’ Juz 2 halaman 238:
ما فسدت الرعية إلا بفساد الملوك وما فسدت الملوك إلا بفساد العلماء
"Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama."
Kedua, Ihya’ Juz 2 halaman 357:
ففساد الرعايا بفساد الملوك وفساد الملوك بفساد العلماء وفساد العلماء باستيلاء حب المال والجاه ومن استولى عليه حب الدنيا لم يقدر على الحسبة على الأراذل فكيف على الملوك والأكابر والله المستعان على كل حال
"Maka kerusakan rakyat itu sebab kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu sebab rusaknya para ulama. Dan rusaknya para ulama itu sebab kecintaan pada harta dan kedudukan. Barangsiapa yang terpedaya akan kecintaan terhadap dunia, maka tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa dan perkara besar? Semoga Allah menolong kita dalam semua hal."
Imam Al-Ghazali melaksanakan introspeksi kepada dirinya dan para sejawatnya: sudahkah para ulama menjalankan fungsi dengan benar sehingga tidak rusak penguasa dan rakyat?
Dalam kitab “al-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk”, terhadap penguasa Imam Al-Ghazali menasihati dengan mengutip riwayat Nabi: "Keadilan penguasa meski hanya satu hari lebih saya senangi ketimbang beribadah selama 70 tahun". Imam Al-Ghazali mengutip sejumlah hadits Nabi soal keadilan penguasa hingga tibalah ia menulis sesuatu yang sangat mengejutkan (halaman 44):
والسلطان العادل من عدل بين العباد، وحذر من الجور والفساد، والسلطان الظالم شؤم لا يبقى ملكه ولا يدوم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (الملك يبقى مع الكفر ولا يبقى مع الظلم) . وفي التواريخ أن المجوس ملكوا العالم أربعة آلاف سنة وكانت المملكة فيهم وإنما دامت المملكة بعدلهم في الرعية، وحفظهم بالسوية، وإنهم ما كانوا يرون الظلم والجور في دينهم وملتهم جائز وعمروا بعدلهم البلاد، وأنصفوا العباد. وقد جاء في الخبر أن الله جلّ ذكره أوحى إلى داود عليه السلام أن آنْهِ قومك عن سب ملوك العجم فإنهم عمروا الدنيا وأوطنوها عبادي. فينبغي أن تعلم أن عمارة الدنيا وخرابها من الملوك فإذا كان السلطان عادلاً عمرت الدنيا وأمنت الرعايا كما كانت عليه في عهد أزدشير وأفريدون وبهرام كور وكسرى أنو شروان. وإذا كان السلطان جائراً خربت الدنيا كما كانت في عهد الضحاك وافراسيان وبرزدكنها الخاطىء وأمثال هؤلاء، وهكذا إلى أن استولى أهل الإسلام وغلبوا العجم وأزاحوهم عن بلادهم وعن الملك وقويت دولة دين الإسلام، ببركة نبينا محمد عليه الصلاة والسلام، وذلك في عهد خلافة عمر بن الخطاب رضي الله عنه.
"Penguasa adil itu yang memperlihatkan keadilan dan kepada sesama hamba dan tidak melaksanakan hal sebaliknya, sebab penguasa zalim tidak akan bertahan usang menurut Hadits Nabi: "Kekuasaan itu bertahan bersama kekufuran tapi tidak bersama kezaliman".
"Dalam sejarah tercatat bahwa Majusi bertahan selama 4 ribu tahun menguasai dunia. Ini sebab mereka mempertahankan keadilan bersama rakyatnya. Sistem keagamaan mereka tidak membolehkan kezaliman dan melalui keadilan mereka berbagi peradaban dan kesejahteraannya."
"Dalam satu riwayat Allah berfirman kepada Nabi Dawud: ‘Wahai Dawud, beritahu bangsamu untuk tidak bicara hal-hal negatif perihal Persia. Merekalah yang membangun peradaban dunia hingga hamba-Ku sanggup hidup di dalamnya’."
"Anda mesti paham bahwa maju atau mundurnya itu tergantung penguasa; jikalau penguasa adil maka semuanya nyaman dan kondusif menyerupai yang terjadi pada masa Raja Azdasyir, Afridun, Bahram Kur, Kisra dan Raja lainnya yang menyerupai mereka. Namun di tangan penguasa zalim yang terjadi kebalikannya menyerupai sanggup kita lihat pada masa Dahhak dan Afrasiyan. Maka kekuasaan negeri Islam kemudian menaklukkan Persia dengan berkah Nabi Muhammad, pada masa Khalifah Umar bin Khattab."
Saya ingin akhiri dengan kutipan kisah menarik ini yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali dalam “Al-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk” halaman 20:
حضر بعض الزهاد بين يدي خليفة، فقال له: عظني فقال: يا أمير المؤمنين إني سافرت الصين وكان ملك الصين قد أصابه الصمم وذهب سمعه فسمعته يقول يوماً وهو يبكي: والله ما أبكي لزوال سمعي وإنما أبكي لمظلوم يقف ببابي يستغيث فلا أسمع استغاثته، ولكن الشكر لله إذ بصري سالم. وأمر منادياً ينادي ألا كل من كانت له ظلامة فليلبس ثوباً أحمر. فكان يركب الفيل فكل من رأى عليه ثوباً أحمر دعاه واستمع شكواه وأنصفه من خصمائه. فانظر يا أمير المؤمنين إلى شفقة ذلك الكافر على عباد الله وأنت مؤمن من أهل بيت النبوة فأنظر كيف تريد أن تكون شفقتك على رعيتك.
"Sejumlah orang zuhud tiba ke Khalifah yang meminta saran dari mereka. Salah seorang berkata: "Wahai Amirul Mukminin, saya pernah mengunjungi negeri Cina. Raja mereka menjadi tuli pendengarannya dan Raja sangat bersedih. Namun Raja Cina ini berkata bahwa "Aku bersedih bukan sebab hilangnya pendengaranku, tapi boleh jadi ada pencari keadilan yang dizalimi yang berhenti di depan pintu istanaku tapi saya tidak sanggup mendengarnya. Tapi syukurlah mataku masih sanggup melihat."
"Kemudian Raja memberi perintah siapa yang hendak protes atas kezaliman yang menimpanya harus menggunakan baju merah (agar diketahui oleh Raja). Raja kemudian blusukan menemui rakyatnya dengan mengendarai gajah, dan menemui mereka yang berbaju merah."
"Orang zuhud yang bercerita kisah ini kepada Khalifah kemudian berkata: "Wahai Amirul Mukminin, ini tindakan bijak penguasa kafir kepada rakyatnya, bagaimana dengan Anda yang orang beriman dan keturunan Nabi Muhammad? Sudahkan Anda memperhatikan rakyat Anda?"
Maaf, Anda jangan murka sama saya kenapa Imam Al-Ghazali justru mengakibatkan pola penguasa adil itu dari golongan orang kafir baik di Persia maupun di Cina. Saya hanya mengutip apa adanya. Mari sama-sama kita ambil pelajaran saja. Ngaji itu lebih lezat daripada ngomongin politik sambil ngomel gak karuan.
Jadi, pertanyaannya kita mau mengikuti nasihat Machiavelli yang menghalalkan segala cara demi kekuasaan, atau mau mengikuti Al-Ghazali yang menekankan prinsip keadilan dalam kekuasaan?
Sumber: Situs PBNU
Comments
Post a Comment