Benarkah Kedua Orangtua Nabi Masuk Neraka?

Pertanyaan:

Kami pernah membaca sebuah hadits yang menyatakan bahwa bapak dari Nabi Muhammad saw. termasuk penghuni neraka. Bagaimana memahami hadits ini? Terima kasih atas penjelasannya.

Jawaban

Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah swt. melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya untuk kita semua. Pertama kali yang perlu diketahui bahwa problem status orang renta Rasulullah saw. sebagai penghuni neraka terdapat dua kelompok ulama yang berbeda pendapat.

Kelompok pertama menyatakan, bahwa orang renta Rasulullah saw. ialah penghuni neraka. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada hadits riwayat Anas bin Malik ra. sebagai berikut:

عن أنس أن رجلا قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم يا رسول الله أين أبي قال في النار قال أَنّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النّارِ. فَلَمّا قَفّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النّارِ

Dari Anas ra.: “Salah seorang sobat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, dimanakah sekarang ayahku?’ Nabi Muhammad saw. menjawab, ‘Di neraka.’ Ketika orang itu berpaling untuk pergi, Nabi Muhammad saw. memanggilnya kemudian berkata, ‘Sungguh, ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka’.” (HR. Muslim)



Sedangkan kelompok kedua menyatakan bahwa orang renta Rasulullah saw. bukan penghuni neraka sebab mereka termasuk mahir fatrah. Sementara mahir fatrah tidak disiksa oleh Allah swt. sebab memang dakwah Rasulullah saw. tidak hingga kepada mereka. Ulama pada kelompok kedua ini mendasarkan pendapatnya pada Surah Al-Isra ayat 15:

“Kami juga tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” (QS. Al-Isra: 15)

Dua dalil yang tampak bertentangan (ta’arudh/kontradiktif) itu kerap membingungkan kita sebagai orang awam (bodoh). Tetapi sejatinya hal ini sanggup diselesaikan dengan metode-metode yang ditulis oleh para ulama. Selain problem dalalah (konten), ulama juga memperlihatkan metode wurud (kualitas periwayatan). Menarik diamati bagaimana Syaikh Ibrahim Al-Baijuri menuntaskan dua dalil ta’arudh di atas sebagai berikut:

فإن قيل) كيف هذا مع أن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر بأن جماعة من أهل الفترة في النار كامرئ القيس وحاتم الطايئ وبعض آباء الصحابة سأله صلى الله عليه وسلم وهو يخطب فقال أين أبي فقال في النار (أجيب) بأن أحاديثهم أحاديث آحاد وهي لا تعارض القطعي وهو قوله تعالى وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا وبأنه يجوز أن يكون تعذيب من صح تعذيبه منهم لأمر يختص به يعلمه الله تعالى ورسوله

“Kalau ditanya, ‘Bagaimana ini (dipahami)? Sementara Rasulullah saw. sendiri mengabarkan bahwa sejumlah orang mahir fatrah menjadi penghuni neraka ibarat Umru’ul Qais, Hatim At-Tha’i, dan sejumlah orang renta para sobat Rasulullah.’ Seseorang bertanya perihal ini kepada Rasulullah saw. yang tengah berkhutbah, ‘Di mana ayahku?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘(Ia) di neraka.’ Jawabnya, ‘Semua hadits yang membuktikan mahir fatrah itu berstatus ahad. Menurut kaidah, hadits dengan status minggu (tidak cukup kuat) untuk bertentangan dengan dalil qath’i, yaitu Surah Al-Isra ayat 15, ‘Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul’. Boleh jadi Allah menyiksa mahir fatrah itu bukan sebab akidahnya, tetapi sebab dosa tertentu yang hanya diketahui oleh Allah dan Rasul-Nya’.” (Lihat Syaikh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid).

Keterangan Al-Baijuri ini menarik. Ia berargumentasi bahwa hadits yang riwayat Imam Muslim melalui sobat Anas ra. itu berstatus minggu (zhanni). Sedangkan Surah Al-Isra ayat 15 itu berstatus mutawatir (qath’i). Secara kaidah hal ini sudah terang bahwa saat ada sejumlah dalil yang ta’arudh (kontradiktif) secara periwayatan, maka kita harus mengutamakan dalil yang berstatus mutawatir dibanding dalil yang berstatus ahad.

Kita tentu saja dianjurkan untuk mengikuti pendapat yang berpengaruh (rajih) dibanding yang lemah (marjuh). Tetapi bagaimana pun kita sebagai orang awam harus menghargai ijtihad para ulama. Jangan hingga perbedaan pendapat para ulama dalam problem ini menjadikan kita sesama orang awam (bodoh) saling menyalahkan satu sama lain atau bahkan meremehkan ulama besar yang berbeda pendapat dengan kita.

Kalau ulama berbeda pendapat, biarkan saja. Itu urusan para ulama. Kita sebagai orang awam (bodoh) baiknya mengambil membisu saja. Demikian tanggapan yang sanggup kami kemukakan. Semoga sanggup dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk mendapatkan saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

Comments

Popular posts from this blog

Viral Cyclical Keto Meal Plan Pictures

Ketika Rabi’Ah Adawiyah Akan Dilamar Hasan Al-Bashri

Kisah Aristoteles Mengajar Iskandar Zulkarnain Kecil