Nasihat-Nasihat Pernikahan

Tema pernikahan atau membentuk rumah tangga Islami yaitu problem yang selalu hangat dibicarakan dan bahkan harus dibicarakan! Tentunya jangan hanya dibicarakan dan dipikirkan tapi dilaksanakan…Insya Allah.

Dalam Islam, pernikahan mempunyai nilai yang sangat suci, agung dan sakral. Ijab kabul sebagai transaksi pernikahan merupakan ucapan yang ringan dilafalkan tapi berat sekali tanggungjawabnya. Allah sendiri menyebut kesepakatan nikah itu sebagai ikatan yang kokoh.

“Bagaimana kau akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kau telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kau perjanjian yang kuat." (QS. An-Nisa: 21).

Dalam Al-Qur’an Allah hanya dua kali memakai istilah perjanjian yang besar lengan berkuasa ini, pertama untuk pernikahan dan kedua untuk perjanjian dengan Bani Israil (di masa Nabi Musa): “Dan telah kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka: ‘Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud’, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: ‘Janganlah kau melanggar peraturan mengenai hari Sabtu’, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.” (QS. An-Nisa: 154).

Setelah kesepakatan nikah terucapkan, maka konsekuensinya:

1.) Halallah apa yang tadinya haram. Jangankan berpegang-pegangan, saling pandang-pandangan saja sebelum menikah dengan lawan jenis dihentikan oleh Islam. Tapi sesudah ijab kabul, maka lenyaplah tabir itu.

"Istri-istrimu yaitu (seperti) tanah daerah kau bercocok tanam, maka datangilah tanah daerah bercocok tanammu itu bagaimana saja kau kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kau kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar besar hati kepada orang-orang yang beriman." (QS. Al-Baqarah: 223)

2.) Terjadilah pemindahan tanggung jawab seorang perempuan dari orang tua/wali ke suaminya. Sebelum menikah segala tanggung jawab seorang anak terletak di bahu ayahnya, sesudah menikah maka kewajiban tersebut berpindah ke suami.

Suami harus memenuhi segala kebutuhan lahir batin istri. Suami yang akan diminta pertanggungjawabannya di alam abadi kelak bagaimana ia mendidik istri dan anak-anaknya. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Hakim: “Manusia yang paling besar tanggungjawabnya kepada perempuan ialah suaminya”.

3.) Keikhlasan seorang perempuan dipimpin oleh suami dan taat pada suami. “Kaum pria itu yaitu pemimpin bagi kaum wanita, oleh alasannya yaitu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan alasannya yaitu mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri dikala suaminya tidak ada, oleh alasannya yaitu Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kau khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jikalau mereka menaatimu, maka janganlah kau mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa: 34)

Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW dia bersabda: “Seandainya saya boleh menyuruh orang untuk bersujud kepada seseorang, pasti saya menyuruh seorang istri bersujud kepada suaminya. (HR. Tirmidzi). 

Dari Ummu Salamah ra. ia berkata, Rasulullah bersabda: “Setiap istri yang meninggal dunia, sedangkan suaminya meridhainya, pasti ia masuk surga.” (HR. Tirmidzi)



Pernikahan dalam rangka membentuk rumah tangga yang Islami merupakan basis penting dalam perjalanan pembangunan umat. Rumah tanga merupakan organisasi terkecil yang sanggup menjadi citra mikrokondisi sebuah masyarakat. Ia juga merupakan pijakan kedua sesudah pelatihan individu muslim, dan wadah mudah untuk pengamalan-pengalaman syariat Islam secara berkelompok dan terorganisasi.

Fungsi-fungsi dalam rumah tangga yang teratur dan terstruktur rapi disertai semangat amanah dan tanggung jawab masing-masing anggotanya akan membuat kondisi yang tentram dan diridhai Allah SWT. Jika suami sebagai qawwam (pemimpin) dan istri sebagai ribatul bait (pengatur) rumah tangga menyadari amanat tersebut akan dipertanggungjawabkan di akhirat, maka kecemerlangan rumah tangga yang samara (sakinah, mawaddah, rahmah) menjadi pasti adanya.

"Dan di antara gejala kekuasaan-Nya ialah Dia membuat untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kau cenderung dan merasa tentram (sakinah) kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat gejala bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar-Rum: 21)

“Mawaddah” dalam ayat diatas lebih berkonotasi ke fisik, tidak hanya problem kecantikan istri, ketampanan suami, kemolekan tubuh, tapi juga menyangkut tingkat sosial, ekonomi, pendidikan dan peradaban. Karena Islam juga memandang faktor kesekufuan (selevel) merupakan salah satu faktor kebahagiaan rumah tangga.

Semakin jauh perbedaan latar belakang kesekufuan ini akan sering terjadi culture schok yang sanggup mengakibatkan perselisihan/percekcokan. Tapi bukan berarti Islam melarang pernikahan antar si kaya dengan si miskin. Dalam sejarah sahabat, hal ini terjadi pada masalah pernikahan Zainab dengan Zaid yang Allah abadikan di dalam surah Al-Ahzab ayat 37.

"Dan (ingatlah), dikala kau berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kau (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah", sedang kau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kau takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kau takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kau dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri bawah umur angkat mereka, apabila bawah umur angkat itu telah menuntaskan keperluannya daripada istrinya. Dan yaitu ketetapan Allah itu pasti terjadi." (QS Al-Ahzab: 37)

Sedangkan “rahmah” pada surah Ar-Rum ayat 21 diatas, yaitu faktor kasih sayang yang bersifat batiniyah, menyangkut kepahaman terhadap dien (agama), keimanan, akhlak, selera dan ideologi. Dan faktor-faktor ini sangat penting. Pilihlah yang utama menurut agamanya. Seperti hadits yang telah kita sering dengar: Wanita itu dinikahi alasannya yaitu 4 perkara: alasannya yaitu hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka dapatkanlah perempuan yang mempunyai agama. (HR. Bukhari)

Bagaimana kita menilai calon pasangan biar sanggup diketahui apakah pas secara mawaddah dan cocok secara rahmah? Saat ini masih banyak muslim melaksanakan ta’aruf (perkenalan) dalam rangka evaluasi calon pasangannya itu dengan cara budaya yang non-Islami.


Wallahu A’lam

Comments

Popular posts from this blog

Viral Cyclical Keto Meal Plan Pictures

Ketika Rabi’Ah Adawiyah Akan Dilamar Hasan Al-Bashri

Kisah Aristoteles Mengajar Iskandar Zulkarnain Kecil