Ketika Imam Mazhab Menghargai Perbedaan Pendapat
Dalam kitab “Tarikh al-Tasyri’ al-Islami” karya Syekh Muhammad Khudhari Bek diceritakan obrolan antara Imam Abu Hanifah dan Imam Al-Auza'i:
قال سفيان بن عيينة: اجتمع أبو حنيفة والأوزاعي في دار الحنّاطين بمكة، فقال الأوزاعي: ما لكم لا ترفعون عند الركوع والرفع منه؟ فقال: لأجل أنه لم يصح عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ، فقال: الأوزاعي: كيف لم يصح وقد حدثني الزهري، عن سالم، عن أبيه، ابن عمر أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - كان يرفع يديه إذا افتتح الصلاة، وعند الركوع، وعند الرفع منه. فقال أبو حنيفة: حدثنا حماد، عن إبراهيم، عن علقمة والأسود، عن عبد الله بن مسعود: أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان لا يرفع يديه إلا عند الافتتاح ثم لا يعود. فقال الأوزاعي: أحدثك عن الزهري، عن سالم، عن أبيه، وتقول: حدثني حماد عن إبراهيم؟! فقال أبو حنيفة: كان حماد أفقه من الزهري، وكان إبراهيم أفقه من سالم، وعلقمة ليس بدون ابن عمر أي في الفقه، وإن كان لابن عمر صحبة، وله فضل صحبته، وللأسود فضل كثير، وعبد الله عبد الله فسكت الآوزاعي
Sufyan bin Uyainah menceritakan bahwa pada suatu kesempatan Imam Al-Auza’i dan Imam Abu Hanifah bertemu di Mekkah. Terjadilah obrolan antara ulama besar fiqih negeri Syam dan ulama besar fiqih negeri Kufah tersebut.
Al-Auza'i bertanya: "Kenapa kalian tidak mengangkat tangan kalian ketika melaksanakan ruku’ dan bangkit dari ruku’?”
Abu Hanifah menjawab, “Ya, lantaran tidak ada Hadits yang shahih dari Rasulullah SAW atas persoalan itu.”
“Bagaimana tidak shahih, sedangkan (Ibnu Syihab) Az-Zuhri telah menceritakan kepadaku, dari Salim (bin Abdullah bin Umar) dari bapaknya (Abdullah bin Umar) dari Rasulullah SAW bahwa ia mengangkat kedua tangannya dikala memulai shalat, dikala ruku’, dan dikala bangkit dari ruku’?” bantah Auza’i.
Abu Hanifah pun merespon, "Telah menceritakan kepada kami Hammad (bin Abi Sulaiman) dari Ibrahim (bin Yazid) dari Alqamah (bin Qais) dan Al-Aswad (bin Yazid) dari (Abdullah) Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangannya kecuali dikala memulai shalat dan tidak melakukannya lagi setelah itu.”
Al-Auza’i mencoba membantah argumentasi Abu Hanifah. “Aku menceritakan kepada Anda Hadits dari Az-Zuhri dari Salim dari bapaknya. Sementara Anda menceritakan Hadits dari Hammad dari Ibrahim?”
[Kalau sebelumnya kedua imam besar ini sama-sama membacakan sanad Hadits, hingga di sini Al-Auza'i mulai mengajukan evaluasi terhadap kualitas rawi/riwayat]
Abu Hanifah menjawab: "Hammad lebih faqih daripada Az-Zuhri, Ibrahim lebih faqih dari Salim, dan Alqamah tidak lebih rendah dari Ibnu Umar. Kalaupun Ibnu Umar seorang sahabat atau unggul lantaran menjadi sahabat Nabi, toh Al-Aswad mempunyai keutamaan yang besar. Sedangkan Abdullah (bin Mas’ud) sudah jelas, siapa Abdullah itu,” jawab Abu Hanifah.
Mendengar argumentasi Abu Hanifah tersebut, Al-Auza’i pun diam.
Ini artinya masing-masing Imam telah menjelaskan argumentasinya, dan mereka lalu membisu dan saling menghormati perbedaan pendapat di antara mereka yang disebabkan perbedaan dalam mendapatkan dan menilai kekuatan sanad suatu Hadits.
Imam Syafi'i juga bahagia berdialog. Bahkan ia tuliskan obrolan itu baik dalam kitab “al-Umm” dan lebih-lebih lagi dalam kitab ”ar-Risalah”.
Pada masa beliau, terdapat pertentangan mengenai boleh tidaknya mendapatkan Hadits Ahad, yaitu riwayat yang diterima dan disampaikan dari satu orang perawi. Imam Malik di Madinah lebih mendapatkan amal andal Madinah ketimbang Hadits Ahad dengan alasan penduduk Madinah lebih paham Hadits dan jumlahnya lebih banyak ketimbang riwayat satu orang. Imam Abu Hanifah dalam beberapa perkara malah mengesampingkan Hadits Ahad jikalau bertentangan dengan qiyas yang ia gunakan. Maka tampillah Imam Syafi'i membela status dan kedudukan Hadits Ahad. Upaya ia inilah yang menciptakan para ulama menggelari Imam Syafi'i sebagai “Nashirus Sunnah” (Pembela Sunnah Nabi).
Imam Syafi'i dalam juz dua kitab “ar-Risalah” menuliskan pecahan khusus perihal Khabar Ahad. Bab ini dimulai dengan obrolan sebagai berikut:
فقال لي قائل: احْدُدْ لي أقلَّ ما تقوم به الحجة على أهل العلم، حتى يَثْبَتَ عليهم خبرُ الخاصَّة.
فقلت: خبرُ الواحد عن الواحد حتى يُنْتَهَى به إلى [ص: ٣٧٠] النبي أو مَنْ انتهى به إليه دونه.
ولا تقوم الحجة بخبر الخاصة حتى يَجْمَعَ أُموراً:
- منها أن يكون مَنْ حدَّثَ به ثِقَةً في دينه، معروفاً بالصِّدق في حديثه، عاقِلاَ لِمَا يُحَدِّثُ به، عالمِاً بما يُحيل مَعَانِيَ الحديث مِنَ اللفظ، وأن يكون ممن يُؤَدِّي الحديث بحروفه كما سَمِعَ، لا يحدث به على المعنى، لأنه إذا حدَّث على المعنى وهو غيرُ [ص: ٣٧١] عالمٍ بما يُحِيلُ به معناه: لم يَدْرِ لَعَلَّهُ يُحِيل الحَلاَلَ إلى الحرام، وإذا أدَّاه بحروفه فلم يَبْقَ وجهٌ يُخاف فيه إحالتُهُ الحديثَ، حافظاً إن حدَّث به مِنْ حِفْظِه، حافظاً لكتابه إن حدَّث مِنْ كتابه. إذا شَرِكَ أهلَ الحفظ في حديث وافَقَ حديثَهم، بَرِيًّا مِنْ أنْ يكونَ مُدَلِّساً، يُحَدِّثُ عَن من لقي ما لم يسمعْ منه، ويحدِّثَ عن النبي ما يحدث الثقات خلافَه عن النبي.
ويكونُ هكذا مَنْ فوقَه ممَّن حدَّثه، حتى يُنْتَهَى بالحديث مَوْصُولاً إلى النبي أو إلى مَنْ انْتُهِيَ به إليه دونه، لأنَّ كلَّ [ص: ٣٧٢] واحد منهم مثْبِتٌ لمن حدَّثه، ومثبت على من حدَّث عنه، فلا يُسْتَغْنَى في كل واحد منهم عمَّا وصفْتُ.
Seseorang berkata kepadaku, "Definisikan untukku teks yang paling sedikit hujjahnya tapi ia mempunyai kekuatan mengikat bagi para ulama?"
Imam Syafi'i menjawab: "Itu ialah Khabar (Hadits) Ahad dari satu orang perawi ke satu perawi lainnya baik yang jalurnya hingga kembali ke Nabi atau terhenti pada selain beliau."
"Kehujjahan Khabar Ahad tidak terjadi melainkan memenuhi persyaratan menyerupai perawinya tsiqah/terpercaya dalam agamanya, populer jujur dalam ucapannya, paham dengan apa yang dia riwayatkan, mengerti dengan perbedaan redaksi atau lafadz. Dia juga sanggup mengulangi teks Hadits abjad demi abjad menyerupai yang dia dengar, lantaran kalau disampaikan secara makna maka boleh jadi nanti dia tidak akan paham mana yang halal dan haram."
"Dia harus punya hafalan yang elok baik menyampaikannya dari memori atau catatannya. Dan kalau diambil dari catatannya maka itu harus cocok dengan hafalan Hadits yang disampaikan pihak lain. Dia dilarang mudallis yang meriwayatkan dari orang yang dia temui tapi sebenarnya dia tidak mendengar Hadits darinya atau meriwayatkan dari Nabi yang pertentangan dengan apa yang disampaikan orang yang tsiqah/terpercaya. Juga, semua perawi di atasnya bersambung hingga ke Rasul atau berhenti pada orang lain. Soalnya masing-masing perawi akan saling tetapkan satu sama lain. Tidak ada yang melewati persyaratan yang saya sampaikan ini [barulah Hadits Ahad itu diterima sebagai hujjah]."
Dari dua kutipan obrolan di atas, para Imam Mazhab sangat memahami Hadits Nabi. Jangan mengira mereka mengeluarkan pendapat tanpa dalil Al-Qur'an dan Hadits sehingga anak zaman kini berani-beraninya mengecam para Imam Mazhab dan lantas mengajak kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits seakan-akan para Imam Mazhab itu telah meninggalkan Al-Qur'an dan Hadits.
Ibaratnya para Imam Mazhab itu ialah para petani yang sudah bersusah payah menanam padi, dan para ulama sesudahnya telah mengolahnya menjadi beras, dan lalu para kiai kita sudah menanak nasi. Kemudian para ustadz mengolah nasi tersebut dan kita tinggal menikmati nasi yang terhidang sesuai pilihan kita baik nasi goreng, nasi uduk, hingga nasi kabuli. Eh, pas gres mau makan, ada yang teriak: "Jangan tinggalkan beras, ayo kembalilah kepada beras!"
Sumber: Situs PBNU
Comments
Post a Comment