Kisah Persahabatan Dua Ulama Besar Indonesia

Kisah persahabatan Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Wahab Chasbullah, mengajari kita, bahwa persahabatan bukanlah sekadar saling membantu dan berjuang pada satu tujuan. Namun, persahabatan juga saling mengingatkan, menghormati perbedaan, mengelolanya dengan baik dan benar. 

Mereka berdua bertemu sebagai santri di pesantren Kademangan, Madura, yang diasuh Kiai Kholil. Keduanya mempunyai latar belakang sosial ekonomi berbeda. Wahab anak orang kaya keturunan Kiai Jawa pedalaman, Jombang, Jawa Timur. Sementara Bisri anak orang papa (tidak punya), meski keturunan Kiai dari pantai utara, Pati, Jawa Tengah. 

Justru alasannya yaitu berbeda itu menyebabkan mereka akrab. Bisri yaitu sosok santri yang miskin, jujur, rajin dan tidak suka menonjolkan diri. Sementara Wahab yaitu sosok santri yang kaya, suka menjelajah, lebih merdeka dalam bicara dan bertindak dan terlihat paling menonjol. Persahabatan itu berlanjut ketika mereka sama-sama melanjutkan mondok di Pesantren  Tebuireng, Jombang. 

Bisri harus bisa berkelit dari kemiskinan semoga eksis menjadi santri. Wahab tahu kondisi kawannya. Untuk itu mereka saling bantu. Bisri membantu membersihkan pakaian dan memasak nasi untuk kawannya. Sementara Wahab membantu biaya makan dan mondoknya Bisri. 

Selama nyantri di Jombang kawannya Bisri yaitu kawannya Wahab. Kawan mereka adalah; Abdul Manaf dari Kediri, As’ad dari Situbondo, Ahmad Baidhawi dari Banyumas, Abdul Karim dari Sedayu Gresik, Nahrawi dari Malang, Abbas dari Jember, Ma’shum Ali Maskumambang dari Sedayu Gresik. Hobi Bisri yaitu hobinya Wahab. Mereka sama-sama suka mendalami fiqih dan membentuk komunitas pecinta fiqih di Pesantren Tebuireng. 

Selama nyantri enam tahun di Tebuireng, Bisri-lah yang menerima ijazah/perkenan dari Kiai Hasyim Asy’ari untuk mengajarkan kitab-kitab fiqih dan hadits. Bukan Wahab yang masih familinya Kiai Hasyim Asy’ari, alasannya yaitu ijazah diberikan untuk yang cerdas dan shalih. 

Lantas Wahab mengajak Bisri untuk mencari ilmu lagi di Mekkah sekalian beribadah. Di Mekkah, keduanya berguru pada ulama-ulama, seperti; Syaikh Muhamad Baqir, Syaikh Muhammad Sa’id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, Syaikh Jamal Maliki, Kiai Ahmad Khatib Padang, Syuaib Daghistani dan Kiai Mahfudz Termas. 

Selama di Mekkah, Bisri lebih membenamkan diri pada ibadah dan ngaji, sementara Wahab lebih suka mencari pengalaman dan suasana baru. Wahab ikut membentuk organisasi SI (Sarekat Islam) cabang Mekkah. Bisri diajak untuk ikut tapi Bisri merasa niatnya ke Mekkah berguru dan beribadah. Berorganisasi itu kasus baru, belum sanggup perkenan dari Kiai Hasyim Asy’ari.

Wahab semakin mencintai sahabatnya, justru alasannya yaitu perbedaan dan keteguhannya. Wahab lantas menjodohkan sahabatnya dengan adik perempuannya, sewaktu ibu dan adiknya menunaikan ibadah haji di Mekkah. Tak lama, Bisri yang telah menjadi iparnya melihat ada gejala perang dunia I, memutuskan pulang duluan ke Indonesia. 

Perjalanan hidup terus berlanjut. Bisri membenamkan diri dalam acara di Pesantren barunya. Sementara Wahab yang sudah pulang ke Indonesia tidak betah hidup usang di pedesaan, mulai berkelana di kota Surabaya. Mereka bersama-sama sama-sama menciptakan penemuan di bidangnya. Wahab suka silaturahmi dan berorganisasi, ketemu Soekarno, Cokroaminoto, Mas Mansur, mendirikan Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Syubanul Wathan, Nahdlatut Tujjar. Sementara Bisri mendirikan pesantren Denanyar, mendapatkan santri wanita pertama kali ketika itu. 

Kiai Hasyim Asy’ari mengamati aktifitas mereka dan memberi pesan tersirat semoga berhati-hati dalam melaksanakan sesuatu yang gres di tengah masyarakat. Mereka berdua tetap kukuh dalam aktifitasnya masing-masing. Namun Wahab melangkah lebih jauh dengan mengajak Bisri dan Kiai Hasyim Asy’ari ikut dalam aneka macam organisasi yang didirikannya. Bisri dan Kiai Hasyim Asy’ari risikonya ikut membantu atas aneka macam acara Wahab untuk kebangsaan dan kerakyatan.



Kisah persahabatan mereka semakin erat ketika mereka menghadapi tekanan dari kelompok-kelompok keagamaan yang mengkafirkan dan memusyrikan acara tahlilan, yasinan dan takziah. Sementara di Mekkah kaum Wahabi berkuasa dan melaksanakan pengrusakan terhadap makam para sobat Nabi. Kemudian mereka berdua membentuk Komite Hijaz yang menjadi penanda lahirnya NU. Wahab berperan mendatangkan beberapa Kiai di Jawa maupun luar Jawa. Sementara Bisri berperan membujuk dan menjemput Kiai Hasyim. Wahab boleh saja bisa mendatangkan banyak Kiai tapi meyakinkan Kiai Hasyim, Bisri ternyata yang lebih mampu.

Di masa-masa inilah manisnya persahabatan mereka, dengan NU, bersama para kiai, pesantren dan santrinya, berjuang untuk bangsanya melawan penjajah. Mereka berjuang membesarkan NU, mengembangkan warta, menghubungkan satu pesantren ke pesantren lain, melaksanakan amal sosial, memupuk rasa nasionalisme, angkat senjata hingga Indonesia merdeka. 

Sampailah masa berpolitik, dengan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Mulailah mereka masuk dalam kekuasaan, masuk Masyumi. Mereka berjuang mengisi kemerdekaan, bekerja sama, berlomba dengan kelompok lain untuk kebaikan, tak jarang terjadi pergesakan antara mereka.

Ketika Kiai Hasyim Asy’ari dan Wahid Hasyim meninggal dunia, mau tak mau, mereka berdua diangkat sebagai pemimpin NU pada pentas politik masa Soekarno. Mulailah terjadi perbedaan-perbedaan di antara mereka. 

Perbedaan terjadi ketika Soekarno membubarkan dewan perwakilan rakyat hasil pemilu 1955 dan membentuk dewan perwakilan rakyat GR (Gotong Royong). Bisri menentang keras keputusan itu alasannya yaitu dewan perwakilan rakyat sudah dipilih rakyat, tidak bisa dibubarkan kemudian digantikan oleh orang-orang yang ditunjuk begitu saja. Bisri menyatakan dewan perwakilan rakyat GR ilegal. Sementara Wahab menilai dewan perwakilan rakyat GR legal. Wahab menilai lebih bermanfaat NU mendapatkan dan masuk dalam dewan perwakilan rakyat GR, amar ma’rufnya lebih kasatmata di dalam ketimbang di luar hanya bisa teriak-teriak.

Wahab kemudian mendekati untuk meluluhkan perilaku sahabatnya. Wahab menjamu Bisri dengan masakan yang dimasaknya sendiri. Bisri mau tiba dan makan, tapi sebelum makan bilang, soal makan setuju, tapi soal GPR GR tetap ilegal.

Meski begitu Bisri tidak melawan dan memberontak kepemimpinan Soekarno untuk bangsa Indonesia. Meski begitu Bisri tidak melawan dan memberontak kepemimpinan Wahab di NU. Bisri hanya mengemukakan pendapatnya pribadi yang menurutnya benar.

Perbedaan mereka berdua tidak hanya di politik. Saat itu keduanya bersama beberapa kiai sedang mengadakan diskusi, bahtsul masa’il, ihwal hukumnya drum band. Bisri tidak membolehkan drum grup band sementara Wahab membolehkan. Mereka berdebat keras hingga memukul-mukul meja. Untung, suara beduk bersahutan tanda masuk sholat, Bisri segera lari ke sumur, menimbakan air wudhu bagi sobat dan iparnya itu. Setelah itu ada jamuan makan, Wahab dan Bisri saling berebut melayani.

Lain waktu, Wahab sempat mendengar sahabatnya tidak pernah makan di warung. Untuk meyakinkannya, Wahab bertanya cucunya Bisri, Gus Dur, apakah benar mbahnya begitu dan apa alasanya? Gus Dur menjawab, mbah Bisri memang tidak pernah makan di warung, alasannya yaitu tidak menemukan hadits yang menyatakan Nabi Muhamad pernah makan di warung. Wahab mengelengkan kepala sambil berkata tentu saja alasannya yaitu waktu itu belum ada warung.

Wahab ingin menunjukan sendiri, diajaklah sahabatnya itu dalam sebuah perjalanan tidak mengecewakan jauh hingga waktunya makan, diparkirlah mobilnya di sebuah warung. Bisri diajak makan, namun tidak mau, risikonya Wahab makan sendirian di warung. Tapi, selesai makan kemudian balik ke mobil, dilihatnya sahabatnya sedang lahap makan. Ketika ditanya katanya tak mau makan, sahabatnya menjawab lebih baik makan di kendaraan beroda empat ketimbang makan di warung. Sahabatnya rahasia menyuruh santrinya untuk membeli nasi lengkap dengan lauk dan minumanya dibungkus.

Begitulah. Terkadang perbedaan penerapan fiqh mereka hanya soal bahasa komunikasi. Pernah, mereka dihadapkan permasalahan seorang warga desa yang ingin berkurban sapi diniatkan untuk delapan orang, bukan tujuh. Bahasa yang digunakan mbah Bisri tegas, tidak bisa, harus ditambah satu kambing. Bahasa Mbah Wahab mengatakan, bisa tapi harus ditambah kambing satu untuk anaknya yang paling kecil buat tangga naik ke sapi. Ternyata bahasa mbah Wahab lebih dimengerti warga desa itu, padahal inti yang dikatakan kedua sobat itu sama.

Meski sering berbeda, Bisri tetap menghormati sahabatnya. Ini dibuktikanya ketika muktamar NU ke-25 di Surabaya, 1971, Bisri terpilih sebagai Rais Aam. Tapi, sebelum palu diketuk, kiai Bisri bangun di hadapan sidang dan menyatakan bahwa selama masih ada Kiai Wahab, dirinya hanya bersedia menduduki jabatan di bawahnya, dan ini tak boleh ditawar.

Kisah persahabatan mereka berdua sungguh inspiratif. Kita seringkali kesulitan mengingatkan mitra bersahabat kita yang korupsi waktu jadi pejabat, takut nanti memutuskan tali silaturahmi. Begitu pula ketika kita diingatkan mitra kita, kita seringnya sulit bersikap bijaksana, eksklusif diputuskan mitra itu merecoki kesuksesan kita. Kisah persahabatan mereka memperlihatkan teladan. Semoga kita bisa menirunya.


Sumber: Situs PBNU

Comments

Popular posts from this blog

Viral Cyclical Keto Meal Plan Pictures

Ketika Rabi’Ah Adawiyah Akan Dilamar Hasan Al-Bashri

Kisah Aristoteles Mengajar Iskandar Zulkarnain Kecil